Menurut pemahaman yang pernah saya baca, yang pernah saya ketahui dari
para ustad dan yang pernah saya ketahui dari diskusi diskusi saya dan teman
teman saya ketika di Kalyanamitra, sebetulnya menurut Fatwa MUI tahun 2008
tentang sunat yang mengatakan bahwa sunat untuk laki laki adalah suatu aturan
dan syiar (dakwah), mengingat karena sunat laki laki sudah dilakukan sendiri
oleh nabi Ibrahim AS. Sebagai suatu kewajiban didalam agama islam bagi anak laki laki untuk disunat, dan
diketahui baru baru ini bahwa sunat laki-laki dalam bidang ilmu kesehatan
memang banyak sekali manfaatnya terkait dengan kesehatan. Namun, sedangkan
khitan bagi perempuan adalah suatu hal yang makrumah,yaitu suatu bentuk ibadah
yang dianjurkan namun tidak diwajibkan. Memang menurut beberapa sumber hadis
sunat perempuan dianjurkan, namun tidak berlebihan. Karena pada dasarnya.
Dikutip dari perkataan Dr.
Hamim Ilyas, dosen di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan
Kalijaga Yogyakarta. “praktik sunat
perempuan sebetulnya sudah ada jauh sebelum Islam. Dari sejarahnya, selama
ribuan tahun sunat perempuan lazim dilakukan di lembah Sungai Nil, yakni Mesir,
Sudan, dan Etiopia, serta secara terbatas pada masyarakat Arab, Rusia, dan
Amerika Latin. Tapi, menurut Hamim, tidak ada informasi bahwa sunat perempuan
juga berasal dari ajaran Nabi Ibrahim. Ketika Islam datang, praktik sunat
perempuan merupakan fenomena lintas budaya.
Islam
pada masa Nabi Muhammad tidak memperkenalkan praktik sunat perempuan. Ketika
Nabi mengetahui praktik itu ada di satu kabilah, maka Nabi berpesan pada dukun
sunat perempuan bernama Ummi Rafi’ah, yang selalu diminta para orang tua
mengkhitan anak perempuannya supaya melakukannya sesedikit mungkin dan tidak
berlebihan.”
Dalam
zaman sekarang tradisi sunat perempuan ini memang beragam, bahkan sebagian
masyarakat berfikiran bahwa sunat untuk perempuan adalah suatu kewajiban dari
agama, padahal jelas dikatakan bahwa sunat perempuan termasuk hal yang
Makrumah. Mungkin di negara negara islam lain sunat perempuan sudah mulai
dilarang untuk prakteknya, namun berbeda dengan di Indonesia, karena kebanyakan
dari masyarakat muslim di Indonesia masih kental menganggap bahwa sunat
perempuan itu sudah masuk dalam kontruksi sosial adat agama dan masih sangat
berpengaruh pada masyarakat . Maka dari itu MUI baru mengeluarkan fatwa bahwa
sunat laki laki itu adalah suatu hal kewajiban, dan sunat perempuan termasuk
kedalam sunah. Menurut saya, disinilah peran kita sebagai mahasiswa yang sudah
tahu asal muasal dan sebab akibat dari sunat perempuan untuk menjadi agen
perubahan bagi masyarakat lingkungan kita, untuk mengubah persfektif masyarakat tentang
kewajiban sunat perempuan yang harus dirubah, bahwa sunat perempuan itu
hukumnya makrumah bukan wajib. Lalu dengan adanya penelitian dokter yang
mengatakan bahwa sunat perempuan itu tidak terlalu berdampak apa apa bagi
perempuan seperti yang ditakutkan oleh sebagian orangtua yang baru melahirkan
anak perempuannya. Dan karena fatwa MUI juga PERMENKES (Peraturan Menteri
Kesehatan) masih memberikan pilihan terhadap masyarakat untuk sunat perempuan,
juga dalam bidang dokter bahwa sekarang sunat perempuan sudah mulai dirubah
hanya dilakukan untuk menghilangkan selaput lendir yang menutupi klitoris.
Mungkin masih ada sebagian yang masih menggunakan jarum suntik kecil steril
untuk sunat perempuan yang sudah sepaket dengan persalinan ibu melahirkan. Dan
disinilah peran bagi masyarakat yang sudah mulai timbul kesadaran kritis,
bagaimana menanggapi sunat perempuan tersebut. Dan disinilah masyarakat
seharusnya bisa memilih mana yang terbaik yang menjadi keyakinan masyarakat itu
sendiri. Karena memang tidak dapat dipungkiri sunat perempuan di Indonesia
masih terbilang sulit untuk dihilangkan dari adat adat yang sudah mengakar
dimasyarakat. ( Sri )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar