Sabtu, 06 Februari 2016

Perempuan dan Kerusakan Lingkungan di Indonesia


Sumber : Balytra
Dewasa ini, persoalan tentang lingkungan hidup mulai lebih banyak mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, baik akademisi, pemerhati lingkungan, politisi maupun masyarakat awam. Hal ini disebabkan semakin memburuknya kondisi bumi dalam  beberapa dekade terakhir. Menipisnya lapisan ozon, lahan hutan yang banyak berkurang serta tingkat emisi gas yang tinggi yang dihasilkan oleh negara-negara industri ditenggarai menjadi penyebab meningkatnya suhu permukaan bumi.
            Di Indonesia kerusakan lingkungan secara luas dan masif terjadi sejak tiga dekade terakhir yang ditandai dengan lahirnya tiga UU yang membuka peluang eksploitasi sumber daya alam Indonesia secara besar-besaran. Ketiga UU tersebut adalah UU kehutanan tahun 1967 (diubah tahun 1999), UU Pertambangan tahun 1967, serta UU Penanaman Modal Dalam dan Luar Negeri tahun 1967.
Sejak adanya UU tersebut berturut-turut masuklah investor asing untuk mengeruk sumber daya alam Indonesia tanpa peduli dengan akibat dari eksploitasi yang dilakukan. Sejak saat itu pula kerusakan-kerusakan lingkungan hidup di Indonesia terjadi dan terus meluas, dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Kondisi tersebut diperparah dengan keadaan di masa itu dimana aturan perlindungan lingkungan dan kesadaran lingkungan belum berkembang seperti sekarang.[1]
            Berbicara mengenai lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari peran perempuan. Sejatinya perempuan berpotensi besar dalam penanganan atau pelestarian lingkungan hidup, namun posisi perempuan yang belum juga menguntungkan membuat perempuan acapkali dipandang sebelah mata, selain daripada itu perempuanlah yang terkena dampak paling besar apabila terjadi kerusakan lingkungan. Rentannya posisi perempuan ini diantaranya diakibatkan oleh kuatnya dominasi budaya patriarki yang telah mengakar di masyarakat, sehingga hal ini membuat posisi perempuan semakin lemah.
            Lalu muncul sebuah pertanyaan, kenapa perempuan menjadi kelompok yang paling besar terkena dampak dari kerusakan lingkungan?. Ketika terjadi kerusakan lingkungan yang merupakan akibat dari penggunaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan, maka perempuan menjadi pihak yang paling beresiko terkena dampak dari kerusakan lingkungan tersebut. Kehidupan perempuan sebagian besar memang bersentuhan langsung dengan alam. Mulai dari kegiatan rumah tangga, produksi, konsumsi hingga kegiatan sosial perempuan, pendek kata perempuan sering berhubungan dengan langsung dengan alam ketimbang laki-laki.
Mari coba lirik kasus yang terjadi di India pada tahun 1974, 74 orang perempuan di Kota Reni India bersepakat untuk menghentikan penebangan hutan. Mereka memeluk erat-erat pohon-pohon yang akan ditebang oleh mesin pemotong kayu yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Gerakan perempuan ini dikenal dengan sebutan gerakan Chipko (dalam bahasa Hindi berarti “memeluk”). Gerakan ini berhasil menyelamatkan sebanyak 12.000 km areal hutan. Gerakan ini pada dasarnya mempunyai unsur ekonomi maupun budaya. Unsur ekonomi karena adanya sentimen para kontraktor-kontraktor besar yang menggunduli hutan penduduk asli untuk kepentingan bisnis para kontraktor. Unsur budaya karena kepercayaan yang tertanam dalam masyarakat untuk melindungi hutan nenek-moyang mereka. Hutan bagi orang India mempunyai makna sakral yang dikenal dengan sebutan Aranya Sanskrit (Warren, 2002).[2]
Di Indonesia kasus kerusakan lingkungan bisa kita lihat di Irian Jaya. Pengalaman orang-orang Irian Jaya dalam berinteraksi dengan alam dan lingkungan misalnya tidak memisahkan aktivitas ekonomi dari pengalaman dan beragamanya. Perempuan-perempuan irian menghalangi para suami-suami mereka yang akan menebang pohon-pohon di hutan dengan berpuisi dan mengitari bahkan mendekap pohon-pohon itu, dan terbukti berhasil.
Kesadaran ekologi hendak melihat kenyataan dunia ini secara integral holistik, bahwa dunia yang satu itu mengandung banyak keanekaragaman. Penulis melihat bahwa ketidak adilan terhadap perempuan dalam lingkungan ini berangkat dari pengertian adanya ketidak adilan yang dilakukan oleh manusia terhadap non-manusia (alam). (MI)


                [1] Arimbi Haroepoetri, dalam artikel Sekilas Masalah Lingkungan di Indonesia yang dimuat dalam kumpulan artikel Gender, Lingkungan dan PerPengurangan Kemiskinan diterbitkan oleh kerja sama DFID British Council Link Team, University of Brighton UK, dan Program Kajian Wanita Pasca Sarjana UI, 2003, dalam Alieda Noorrafisa Putri, “Partisipasi Perempuan Dalam Pengelolaan Sampah Melalui Bengkel Kerja Kesehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat di Dusun Badegan Bantul,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), h. 2
[2] Tri Marhaeni Pudji Astuti, Ekofeminisme dan Peran Perempuan Dalam Lingkungan (Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, 2012), h. 54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar