![]() |
Sumber : Balytra |
Dewasa ini, persoalan tentang lingkungan hidup mulai
lebih banyak mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan, baik akademisi, pemerhati
lingkungan, politisi maupun masyarakat awam. Hal ini disebabkan semakin
memburuknya kondisi bumi dalam beberapa
dekade terakhir. Menipisnya lapisan ozon, lahan hutan yang banyak berkurang
serta tingkat emisi gas yang tinggi yang dihasilkan oleh negara-negara industri
ditenggarai menjadi penyebab meningkatnya suhu permukaan bumi.
Di
Indonesia kerusakan lingkungan secara luas dan masif terjadi sejak tiga dekade
terakhir yang ditandai dengan lahirnya tiga UU yang membuka peluang eksploitasi
sumber daya alam Indonesia secara besar-besaran. Ketiga UU tersebut adalah UU
kehutanan tahun 1967 (diubah tahun 1999), UU Pertambangan tahun 1967, serta UU
Penanaman Modal Dalam dan Luar Negeri tahun 1967.
Sejak adanya UU tersebut berturut-turut masuklah investor asing untuk mengeruk sumber daya alam Indonesia tanpa peduli dengan akibat dari eksploitasi yang dilakukan. Sejak saat itu pula kerusakan-kerusakan lingkungan hidup di Indonesia terjadi dan terus meluas, dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Kondisi tersebut diperparah dengan keadaan di masa itu dimana aturan perlindungan lingkungan dan kesadaran lingkungan belum berkembang seperti sekarang.[1]
Sejak adanya UU tersebut berturut-turut masuklah investor asing untuk mengeruk sumber daya alam Indonesia tanpa peduli dengan akibat dari eksploitasi yang dilakukan. Sejak saat itu pula kerusakan-kerusakan lingkungan hidup di Indonesia terjadi dan terus meluas, dari satu wilayah ke wilayah yang lain. Kondisi tersebut diperparah dengan keadaan di masa itu dimana aturan perlindungan lingkungan dan kesadaran lingkungan belum berkembang seperti sekarang.[1]
Berbicara
mengenai lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dari peran perempuan.
Sejatinya perempuan berpotensi besar dalam penanganan atau pelestarian
lingkungan hidup, namun posisi perempuan yang belum juga menguntungkan membuat
perempuan acapkali dipandang sebelah mata, selain daripada itu perempuanlah
yang terkena dampak paling besar apabila terjadi kerusakan lingkungan.
Rentannya posisi perempuan ini diantaranya diakibatkan oleh kuatnya dominasi
budaya patriarki yang telah mengakar di masyarakat, sehingga hal ini membuat
posisi perempuan semakin lemah.
Lalu
muncul sebuah pertanyaan, kenapa perempuan menjadi kelompok yang paling besar
terkena dampak dari kerusakan lingkungan?. Ketika terjadi kerusakan lingkungan
yang merupakan akibat dari penggunaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan
kelestarian lingkungan, maka perempuan menjadi pihak yang paling beresiko
terkena dampak dari kerusakan lingkungan tersebut. Kehidupan perempuan sebagian
besar memang bersentuhan langsung dengan alam. Mulai dari kegiatan rumah
tangga, produksi, konsumsi hingga kegiatan sosial perempuan, pendek kata
perempuan sering berhubungan dengan langsung dengan alam ketimbang laki-laki.
Mari coba lirik kasus
yang terjadi di India pada tahun 1974, 74 orang perempuan di Kota Reni India
bersepakat untuk menghentikan penebangan hutan. Mereka memeluk erat-erat
pohon-pohon yang akan ditebang oleh mesin pemotong kayu yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan besar. Gerakan perempuan ini dikenal dengan
sebutan gerakan Chipko (dalam bahasa
Hindi berarti “memeluk”). Gerakan ini berhasil menyelamatkan
sebanyak 12.000 km areal hutan. Gerakan ini pada dasarnya mempunyai unsur
ekonomi maupun budaya. Unsur ekonomi karena adanya sentimen para
kontraktor-kontraktor besar yang menggunduli hutan penduduk asli untuk
kepentingan bisnis para kontraktor. Unsur budaya karena kepercayaan yang
tertanam dalam masyarakat untuk melindungi hutan nenek-moyang mereka. Hutan
bagi orang India mempunyai makna sakral yang dikenal dengan sebutan Aranya Sanskrit (Warren, 2002).[2]
Di Indonesia kasus kerusakan lingkungan bisa
kita lihat di Irian Jaya. Pengalaman orang-orang Irian Jaya dalam berinteraksi
dengan alam dan lingkungan misalnya tidak memisahkan aktivitas ekonomi dari
pengalaman dan beragamanya. Perempuan-perempuan irian menghalangi para
suami-suami mereka yang akan menebang pohon-pohon di hutan dengan berpuisi dan
mengitari bahkan mendekap pohon-pohon itu, dan terbukti berhasil.
Kesadaran ekologi hendak melihat kenyataan dunia
ini secara integral holistik, bahwa dunia yang satu itu mengandung banyak
keanekaragaman. Penulis melihat bahwa ketidak adilan terhadap perempuan dalam
lingkungan ini berangkat dari pengertian adanya ketidak adilan yang dilakukan
oleh manusia terhadap non-manusia (alam). (MI)
[1]
Arimbi Haroepoetri, dalam artikel
Sekilas Masalah Lingkungan di Indonesia yang dimuat dalam kumpulan artikel Gender,
Lingkungan dan PerPengurangan Kemiskinan diterbitkan oleh kerja sama DFID
British Council Link Team, University of Brighton UK, dan Program Kajian Wanita
Pasca Sarjana UI, 2003, dalam Alieda Noorrafisa Putri, “Partisipasi Perempuan
Dalam Pengelolaan Sampah Melalui Bengkel Kerja Kesehatan Lingkungan Berbasis
Masyarakat di Dusun Badegan Bantul,” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010), h. 2
[2] Tri Marhaeni Pudji Astuti, Ekofeminisme dan Peran Perempuan Dalam
Lingkungan (Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas
Negeri Semarang, 2012), h. 54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar