Pada Bulan September 2013, ada 26
mahasiswa yang terlibat dalam training perencanaan program yang diselenggarakan
oleh Jurusan Pemberdayaan Masyarakat Islam (PMI) bekerja sama dengan AMAN
Indonesia dan Konsultan Pemberdayaan. Training ini kemudian ditindaklanjuti
dengan sebuah kelas rutin hari Sabtu yang mementori mahasiswa yang tertarik
kerja-kerja pemberdayaan. Mereka dipaksa untuk belajar berkomitmen pada waktu
dan disiplin yang menjadi karakter pemberdaya masyarakat. Tentu saja dua syarat
ini berat bagi sebagian mahasiswa yang tidak pernah diikat oleh sebuah
organisasi atau belum pernah mengenyam pendidikan organisasi. Satu per satu
mengundurkan diri, sampai tinggal 16 orang yang secara bergantian intensif
mengikuti kelas. Ketika komitmen itu dikonkritkan dalam sebuah wadah Pemberdaya
Muda, kembali komitmen diri dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa para peserta
mentoring yang sudah ditempa sekian bulan, tidak semuanya bersedia melanjutkan
komitmen konkrit kerja-kerja di pemberdayaan. Lalu,mengapa mereka kuliah di
pemberdayaan?
Tulisan ini tidak ditujukan untuk
mengkritisi komitmen para mahasiswa jurusan PMI yang mengikuti kelas mentoring
AMAN Indonesia dan Konsultan Pemberdayaan, tetapi semata-mata sebagai refleksi
secara pribadi saya tentang jurusan pemberdayaan yang ada di UIN. Ini karena
bentuk perhatian besar saya pada jurusan PMI sebagai satu-satunya jurusan yang
konkrit bisa membekali para generasi muda tentang skill dan knowledge
pemberdayaan. Selain itu, jurusan ini bisa melahirkan stok yang cukup buat
regenerasi pekerja NGO terkait dengan pemberdayaan masyarakat. Bukankah cukup
bergengsi? Tentu saja, jurusan PMI harus mempersiapkan secara matang kurikulum
jurusan yang benar-benar memberikan kecukupan wawasan dan praktek pemberdayaan.
Setelah 6 bulan bergaul dengan mahasiswa PMI, maka tentu penting bagi pihak
jurusan untuk memikirkan kembali beberapa hal dibawah ini:
Pertama, perjelas makna pemberdayaan. Memahami makna pemberdayaan
tidak bisa hanya menghafal teori, tetapi harus praktek di lapangan dalam kurun
waktu tertentu. Ingat bahwa tidak semua mahasiswa yang masuk ke dalam jurusan
PMI adalah mahasiswa yang sadar memilih jurusan ini. Kebanyakan dari mereka
adalah “terjebak” atau “menjebakkan diri” karena tidak punya pilihan jurusan.
Untuk mengantisipasi ini maka jurusan harus bisa menyuguhkan nuansa
pemberdayaan pada praktek sehari-hari, termasuk menurunkan makna pemberdayaan “sesungguhnya”
ke dalam kurikulum. Kesalahpahaman makna pemberdayaan akan menuntun mahasiswa
juga mengambil model yang salah tentang pemberdayaan. Contoh 1-2 kali kunjungan
ke masyarakat sudah merasa melakukan pemberdayaan. Tentu saja, ini tidak
dibenarkan, karena sebuah pemberdayaan itu adalah proses yang dijalankan untuk
mengubah perspektif atau sikap masyarakat akan hal tertentu, sampai terjadi
perubahan di masyarakat, maka pemberdayaan itu bisa diklaimkan.
Kedua, watak pemberdayaan. Sebuah pemberdayaan membutuhkan watak
yang keras, karena tantangan pemberdayaan sangat banyak dan kuat. Bukan saja
bergumul dengan watak manusia yang unik dan tidak bisa ditebak. Tetapi juga
watak kelompok yang hanya bisa ditaklukkan dengan sebuah komitmen yang tinggi
dan amanah. Watak pemberdaya ini hanya bisa didapatkan dari sebuah ideologisasi
di jurusan yang itu dilakukan oleh para “pemberdaya sejati”, sehingga setiap
nilai yang diusung secara konsisten dipraktekkan dalam keseharian jurusan. Seorang
pemberdaya pantang menyerah dan pantang menjilat ludah sendiri. Begitu bilang “ya”,
maka itu maknanya iya dan tidak dicabut dengan gampang karena kepentingan
pribadi. Mengapa demikian, karena ketika kita bekerja di masyarakat, kita harus
konsisten mengatakan apa adanya, sehingga kita bisa dipercaya masyarakat.
Karena tanpa kepercayaan program-program pemberdayaan tidak akan jalan. Atau
bisa saja program jalan tetapi tidak memberikan impact perubahan pada prilaku orang atau kelompok.
Ketiga, sikap mandiri. Tidak mudah mencetak sikap mandiri pada
mahasiswa, tetapi tidak mustahil sikap ini ditumbuhkan pada diri generasi muda.
Kuncinya adalah sebuah lingkungan yang nyaman sehingga mahasiswa merasa
dipercaya dan memampukan mahasiswa. Karakter komunal diantara anak muda sering
menjebak mereka unutk tidak mengambil sikap yang mandiri. Jika salah satu
temannya mengambil sikap A, maka teman yang lain tentu cenderung mengambil
sikap A.
Keempat, Berani Gagal dan Bertanggungjawab, adalah sikap yang wajib
ada dalam setiap diri pemberdaya masyarakat (re: lulusan PMI). Ini adalah
tanggungjawab dari pengajar di jurusan PMI untuk memastikan bahwa lulusan
mereka memiliki kualitas yang tinggi. Sehingga di masa mendatang orang akan
memilih jurusan PMI secara sadar karena kualitas yang dimiliki jurusan.
Mendorongkan keberanian gagal pada mahasiswa adalah mendorongkan keberanian
untuk mencoba. Karena gagal itu bagian dari proses, yang akan menghantarkan
mahasiswa untuk bisa memperdalam karakter pemberdaya yang dia miliki. Maka,
setiap uji coba gagal harus difasilitasi agar mahasiswa tidak takut gagal. Justru
ketika gagal, maka mereka harus didorongkan untuk bertanggungjawab. Ini yang
menurut saya, agak berat buat jurusan yaitu mengajarkan bagaimana
bertanggungjawab. Secara sederhana bertanggungjawab adalah sebuah sikap berani
yang sudah lebih condong mempertimbangkan akibat dari komitmen yang sudah
pernah diucapkan, jika dilanggar. Sebuah komitmen pemberdayaan yang sudah
diucapkan di masyarakat mengandung konsekuensi yang dalam. Nama almamater yang
dipertaruhkan dan akan berdampak pada generasi selanjutnya. Sebuah pembelajaran
seperti apa yang mencetak lulusan dengan mental “tidak bertanggungjawab” atau “mudah
meletakkan tanggungjawab” tanpa memikirkan dampaknya?
Kelima, Tidak berorientasi pada nilai. Kesalahan besar pendidikan
kita adalah berorientasi pada nilai, sehingga semangat anak didik sebagian
besar berorientasi pada nilai. Kita boleh bertaruh mahasiswa yang memiliki IP
3,8 atau 4,0 lulusan jurusan
pemberdayaan belum tentu bisa memimpin rapat di masyarakat. Karena penilaian “bisa”
itu tidak pernah ada dalam kurikulum. Yang ada hanya mereka bisa dites secara
teori saja. Padahal syarat pemberdaya itu adalah kemampuan fasilitasi di
masyarakat, salah satunya. Gara-gara orientasi nilai ini maka kualitas lulusan
jurusan PMI tentu tidak bisa memenuhi ekspetasi pasar yang seharusnya bisa
dijadikan peluang besar buat lulusan PMI.
Oleh karenanya, maka saya menawarkan
sebuah pendekatan baru pada kurikulum jurusan PMI yang harus imbang antara
teori dan praktek. Sebuah kurikulum baru haruslah lebih memberikan penekanan
pada praktek pemberdayaan langsung di lapangan, dimana mahasiswa didorong
memiliki projek mandiri selama kuliah di jurusan PMI, sehingga mereka memiliki
waktu cukup untuk uji coba teori di lapangan. Juga sebagai ruang untuk mencoba
gagal, karena dengan memiliki projek mandiri di masyarakat, mahasiswa akan
memiliki pengalaman yang bisa dijual untuk mencari pekerjaan setelah lulus.
Selanjutnya, penting mendorongkan mahasiswa jurusan PMI untuk berproses di
organisasi. Gaya hidup “kuliah”, “pacaran”, “tinggal di kost” sering
menyamankan mahasiswa sehingga mereka sulit untuk dewasa. Ini karena mereka
tidak memiliki pengalaman cukup bergaul dengan orang lain yang berasal dari
background yang berbeda. Berorganisasi akan membuka cakrawala dan horizon perpikir
mahasiswa sehingga dalam proses penulisan skripsi, mereka bisa menunjukkan
sebuah analsisi yang matang karena pergaulan yang luas dan didukung oleh terjun
langsung di masyarakat.
Jadi, pemberdayaan bukan untuk dibayangkan. Pemberdayaan untuk dilakukan. Dan tidak cukup 2-4 hari saja. Ini membutuhkan komitmen jangka panjang, ketekunan, kejujuran dan keuletan. Karena bekal inilah yang akan menempa para lulusan PMI siap berkompetisi dengan lulusan-lulusan dari jurusan lainnya. Sebuah organisasi Pemberdaya Muda yang baru dipelopori oleh para mahasiswa PMI, adalah wujud konkrit dari keprihatinan ini. Jika dimasa mendatang muncul perasaan “Mahasiswa Jurusan PMI, musti lulus pendidikan di Pemberdaya Muda”, maka artinya upaya transformasi akan berjalan di masa mendatang. *** (Dwi Ruby Khalifah)
Jadi, pemberdayaan bukan untuk dibayangkan. Pemberdayaan untuk dilakukan. Dan tidak cukup 2-4 hari saja. Ini membutuhkan komitmen jangka panjang, ketekunan, kejujuran dan keuletan. Karena bekal inilah yang akan menempa para lulusan PMI siap berkompetisi dengan lulusan-lulusan dari jurusan lainnya. Sebuah organisasi Pemberdaya Muda yang baru dipelopori oleh para mahasiswa PMI, adalah wujud konkrit dari keprihatinan ini. Jika dimasa mendatang muncul perasaan “Mahasiswa Jurusan PMI, musti lulus pendidikan di Pemberdaya Muda”, maka artinya upaya transformasi akan berjalan di masa mendatang. *** (Dwi Ruby Khalifah)
Bagus sekali
BalasHapusterima kasih kakak @ahamad jatmico .. :D ^,^
BalasHapus