Minggu, 27 April 2014

Menakar Kembali Makna Pemberdayaan

Pada Bulan September 2013, ada 26 mahasiswa yang terlibat dalam training perencanaan program yang diselenggarakan oleh Jurusan Pemberdayaan Masyarakat Islam (PMI) bekerja sama dengan AMAN Indonesia dan Konsultan Pemberdayaan. Training ini kemudian ditindaklanjuti dengan sebuah kelas rutin hari Sabtu yang mementori mahasiswa yang tertarik kerja-kerja pemberdayaan. Mereka dipaksa untuk belajar berkomitmen pada waktu dan disiplin yang menjadi karakter pemberdaya masyarakat. Tentu saja dua syarat ini berat bagi sebagian mahasiswa yang tidak pernah diikat oleh sebuah organisasi atau belum pernah mengenyam pendidikan organisasi. Satu per satu mengundurkan diri, sampai tinggal 16 orang yang secara bergantian intensif mengikuti kelas. Ketika komitmen itu dikonkritkan dalam sebuah wadah Pemberdaya Muda, kembali komitmen diri dihadapkan pada sebuah kenyataan bahwa para peserta mentoring yang sudah ditempa sekian bulan, tidak semuanya bersedia melanjutkan komitmen konkrit kerja-kerja di pemberdayaan. Lalu,mengapa mereka kuliah di pemberdayaan?
       Tulisan ini tidak ditujukan untuk mengkritisi komitmen para mahasiswa jurusan PMI yang mengikuti kelas mentoring AMAN Indonesia dan Konsultan Pemberdayaan, tetapi semata-mata sebagai refleksi secara pribadi saya tentang jurusan pemberdayaan yang ada di UIN. Ini karena bentuk perhatian besar saya pada jurusan PMI sebagai satu-satunya jurusan yang konkrit bisa membekali para generasi muda tentang skill dan knowledge pemberdayaan. Selain itu, jurusan ini bisa melahirkan stok yang cukup buat regenerasi pekerja NGO terkait dengan pemberdayaan masyarakat. Bukankah cukup bergengsi? Tentu saja, jurusan PMI harus mempersiapkan secara matang kurikulum jurusan yang benar-benar memberikan kecukupan wawasan dan praktek pemberdayaan. Setelah 6 bulan bergaul dengan mahasiswa PMI, maka tentu penting bagi pihak jurusan untuk memikirkan kembali beberapa hal dibawah ini:


       Pertama, perjelas makna pemberdayaan. Memahami makna pemberdayaan tidak bisa hanya menghafal teori, tetapi harus praktek di lapangan dalam kurun waktu tertentu. Ingat bahwa tidak semua mahasiswa yang masuk ke dalam jurusan PMI adalah mahasiswa yang sadar memilih jurusan ini. Kebanyakan dari mereka adalah “terjebak” atau “menjebakkan diri” karena tidak punya pilihan jurusan. Untuk mengantisipasi ini maka jurusan harus bisa menyuguhkan nuansa pemberdayaan pada praktek sehari-hari, termasuk menurunkan makna pemberdayaan “sesungguhnya” ke dalam kurikulum. Kesalahpahaman makna pemberdayaan akan menuntun mahasiswa juga mengambil model yang salah tentang pemberdayaan. Contoh 1-2 kali kunjungan ke masyarakat sudah merasa melakukan pemberdayaan. Tentu saja, ini tidak dibenarkan, karena sebuah pemberdayaan itu adalah proses yang dijalankan untuk mengubah perspektif atau sikap masyarakat akan hal tertentu, sampai terjadi perubahan di masyarakat, maka pemberdayaan itu bisa diklaimkan.
       Kedua, watak pemberdayaan. Sebuah pemberdayaan membutuhkan watak yang keras, karena tantangan pemberdayaan sangat banyak dan kuat. Bukan saja bergumul dengan watak manusia yang unik dan tidak bisa ditebak. Tetapi juga watak kelompok yang hanya bisa ditaklukkan dengan sebuah komitmen yang tinggi dan amanah. Watak pemberdaya ini hanya bisa didapatkan dari sebuah ideologisasi di jurusan yang itu dilakukan oleh para “pemberdaya sejati”, sehingga setiap nilai yang diusung secara konsisten dipraktekkan dalam keseharian jurusan. Seorang pemberdaya pantang menyerah dan pantang menjilat ludah sendiri. Begitu bilang “ya”, maka itu maknanya iya dan tidak dicabut dengan gampang karena kepentingan pribadi. Mengapa demikian, karena ketika kita bekerja di masyarakat, kita harus konsisten mengatakan apa adanya, sehingga kita bisa dipercaya masyarakat. Karena tanpa kepercayaan program-program pemberdayaan tidak akan jalan. Atau bisa saja program jalan tetapi tidak memberikan impact perubahan pada prilaku orang atau kelompok.
       Ketiga,  sikap mandiri.  Tidak mudah mencetak sikap mandiri pada mahasiswa, tetapi tidak mustahil sikap ini ditumbuhkan pada diri generasi muda. Kuncinya adalah sebuah lingkungan yang nyaman sehingga mahasiswa merasa dipercaya dan memampukan mahasiswa. Karakter komunal diantara anak muda sering menjebak mereka unutk tidak mengambil sikap yang mandiri. Jika salah satu temannya mengambil sikap A, maka teman yang lain tentu cenderung mengambil sikap A. 
       Keempat, Berani Gagal dan Bertanggungjawab, adalah sikap yang wajib ada dalam setiap diri pemberdaya masyarakat (re: lulusan PMI). Ini adalah tanggungjawab dari pengajar di jurusan PMI untuk memastikan bahwa lulusan mereka memiliki kualitas yang tinggi. Sehingga di masa mendatang orang akan memilih jurusan PMI secara sadar karena kualitas yang dimiliki jurusan. Mendorongkan keberanian gagal pada mahasiswa adalah mendorongkan keberanian untuk mencoba. Karena gagal itu bagian dari proses, yang akan menghantarkan mahasiswa untuk bisa memperdalam karakter pemberdaya yang dia miliki. Maka, setiap uji coba gagal harus difasilitasi agar mahasiswa tidak takut gagal. Justru ketika gagal, maka mereka harus didorongkan untuk bertanggungjawab. Ini yang menurut saya, agak berat buat jurusan yaitu mengajarkan bagaimana bertanggungjawab. Secara sederhana bertanggungjawab adalah sebuah sikap berani yang sudah lebih condong mempertimbangkan akibat dari komitmen yang sudah pernah diucapkan, jika dilanggar. Sebuah komitmen pemberdayaan yang sudah diucapkan di masyarakat mengandung konsekuensi yang dalam. Nama almamater yang dipertaruhkan dan akan berdampak pada generasi selanjutnya. Sebuah pembelajaran seperti apa yang mencetak lulusan dengan mental “tidak bertanggungjawab” atau “mudah meletakkan tanggungjawab” tanpa memikirkan dampaknya? 
       Kelima, Tidak berorientasi pada nilai. Kesalahan besar pendidikan kita adalah berorientasi pada nilai, sehingga semangat anak didik sebagian besar berorientasi pada nilai. Kita boleh bertaruh mahasiswa yang memiliki IP 3,8 atau 4,0  lulusan jurusan pemberdayaan belum tentu bisa memimpin rapat di masyarakat. Karena penilaian “bisa” itu tidak pernah ada dalam kurikulum. Yang ada hanya mereka bisa dites secara teori saja. Padahal syarat pemberdaya itu adalah kemampuan fasilitasi di masyarakat, salah satunya. Gara-gara orientasi nilai ini maka kualitas lulusan jurusan PMI tentu tidak bisa memenuhi ekspetasi pasar yang seharusnya bisa dijadikan peluang besar buat lulusan PMI. 
       Oleh karenanya, maka saya menawarkan sebuah pendekatan baru pada kurikulum jurusan PMI yang harus imbang antara teori dan praktek. Sebuah kurikulum baru haruslah lebih memberikan penekanan pada praktek pemberdayaan langsung di lapangan, dimana mahasiswa didorong memiliki projek mandiri selama kuliah di jurusan PMI, sehingga mereka memiliki waktu cukup untuk uji coba teori di lapangan. Juga sebagai ruang untuk mencoba gagal, karena dengan memiliki projek mandiri di masyarakat, mahasiswa akan memiliki pengalaman yang bisa dijual untuk mencari pekerjaan setelah lulus. Selanjutnya, penting mendorongkan mahasiswa jurusan PMI untuk berproses di organisasi. Gaya hidup “kuliah”, “pacaran”, “tinggal di kost” sering menyamankan mahasiswa sehingga mereka sulit untuk dewasa. Ini karena mereka tidak memiliki pengalaman cukup bergaul dengan orang lain yang berasal dari background yang berbeda. Berorganisasi akan membuka cakrawala dan horizon perpikir mahasiswa sehingga dalam proses penulisan skripsi, mereka bisa menunjukkan sebuah analsisi yang matang karena pergaulan yang luas dan didukung oleh terjun langsung di masyarakat.
       Jadi, pemberdayaan bukan untuk dibayangkan. Pemberdayaan untuk dilakukan. Dan tidak cukup 2-4 hari saja. Ini membutuhkan komitmen jangka panjang, ketekunan, kejujuran dan keuletan. Karena bekal inilah yang akan menempa para lulusan PMI siap berkompetisi dengan lulusan-lulusan dari jurusan lainnya. Sebuah organisasi Pemberdaya Muda yang baru dipelopori oleh para mahasiswa PMI, adalah wujud konkrit dari keprihatinan ini. Jika dimasa mendatang muncul perasaan “Mahasiswa Jurusan PMI, musti lulus pendidikan di Pemberdaya Muda”, maka artinya upaya transformasi akan berjalan di masa mendatang. *** (Dwi Ruby Khalifah)

2 komentar: