Jumat, 13 Juni 2014

Perempuan Sang Kepala Keluarga

Apa yang anda fikirkan jika penulis mengatakan “siapa sosok kepala keluarga didalam sebuah rumah tangga”?? pasti sebagian besar menjawab. (Ya dia seorang laki laki). Tahukah kita, bahwasannya lebih dari 25% kepala keluarga di Indonesia dipimpin oleh seorang wanita. Ini bukan suatu yang mustahil tapi ini adalah realita. Dan tidak sedikit dari mereka (Kepala Keluarga Perempuan) menyadari bahwa ia adalah seorag kepala keluarga. Sehingga bukannya tidak mungkin, jikalau secara de facto pada kasus kepala keluarga perempuan ada kemiskinan yang terselubung.
Pada hari selasa kemarin (10 Juni 2014) penulis dan beberapa anggota pemberdaya muda menghadiri acara pertemuan nasional lembaga PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) di bilangan Jakarta Pusat. Acara yang dihadiri oleh perempuan perempuan kepala keluarga ini cukup antusias. Bagaimana tidak, ibu ibu PEKKA ini hadir dari daerah yang berbeda, kurang lebih mencakup 19 provinsi yang tergabung dalam komunitas PEKKA, acara yang di sambut oleh menteri pemberdayaan perempuan ini, mengakui sangat kagum dengan para RTP (Rumah Tangga Perempuan) ini. dengan keterbatasan yang ada, mereka tidak lelah berjuang, bahkan mereka sangat mengutamakan pendidikan untuk masa depan anak anaknya. Ibu ibu PEKKA ini terklasifikasi kedalam beberapa kriteria perempuan kepala keluarga. Yakni: janda yang suaminya meninggal, janda yang bercerai, perempuan yang suaminya mengidap penyakit dan membuat istrinya menjadi tulang punggung keluarga,  perempuan yang suaminya merantau, dan perempuan yang ditinggalkan suaminya begitu saja dengan anak anaknya.
Namun, pada kenyataannya banyak di masyarakat kita pada kasus kepala keluarga perempuan, Bahwasannya ideology pemahaman masyarakat kepala keluarga adalah seorang laki laki. Sekalipun suami suami mereka sudah bertahun tahun tidak ada kabar, dan tidak menafkahi. Ini kemudian menjadikan perempuan kepala keluarga dipandang sebelah mata. Sebagai contoh ketika ada program pemerintah yang mengharuskan kepala keluarga laki laki yang mengambil bantuan pemerintah, dan ketika yang datang adalah sosok perempuan yang memang dia adalah sebagai kepala keluarga. Maka dengan tegas para aparat pemerintah tidak mengizinkan untuk pencairan bantuan sebelum kepala keluarga laki laki yang datang. Ini menjadi sebuah dilemma dan menjadi pertanyaan besar. Bagaimana dengan perempuan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, akankah dia menjemput ke kuburan suaminya, atau bagaimana nasib perempuan perempuan yang ditinggal rantau oleh suaminya bahkan tidak ada kabar, akankah ia menunggu suaminya pulang, lalu bantuan baru bisa dicairkan. Inilah yang menjadikan kasus pada kepala keluarga perempuan menjadi aspek kemiskinan yang terselubung tidak terdata dan tidak di jamah oleh program program pemerintah.



Lalu pada kasus yang ditemukan dalam perkawinan poligami, bahwa secara realita, perkawinan poligami memberikan suasana yang bertambah buruk dalam rumah tangga. Pada kasus poligami, yang sering dikemukakan oleh perempuan adalah masalah keuangan, namun, yang dikemukakan laki laki masalah yang sering muncul dari poligami berdampak pada psikologi.
Pada kasus KKP (Kepala Keluarga Perempuan) secara realita mengemukakan bahwasannya para perempuan miskin kepala keluarga lebih kuat ikatan solidaritas kemiskinannya ketika dihadapkan pada perempuan lainnya ketika ada persoalan ketidak adilan dari suatu sistem. Ini di buktikan ketika para ibu ibu PEKKA yang mayoritas buta aksara, mereka sangat antusias dan terkesan aktif ketika di berikan kesempatan mengajukan pertanyaan kepada perwakilan menteri pemberdayaan perempuan. yang kebanyakan isinya pengaduan pengaduan dan keluh kesah mereka yang mendapat ketidak adilan dalam program bantuan pemerintah. Bahkan ada ibu yang mengatakan bahwasannya mereka memang miskin, tapi tidak ingin disebut orang miskin, mereka hanya meminta bantuan yang seyogyanya bantuan itu membuat mereka berdikari bukan ketergantungan, lebih dari itu mereka mengatakan, tidak apa apa kami tidak memperoleh bantuan, asalkan teman teman dan tetangga kami yang lebih berhak menerima bantuan segera dibantu. Bukan hanya sekedar sensus dan survey belaka. Inilah arti dari solidaritas kemiskinan yang tanpa mereka sadari itulah harta kekayaan yang belum tentu orang lain miliki. Lalu bagaimana dengan orang yang kaya, orang yang sudah mampu, orang yang bergelimangan harta, orang yang cukup, masihkan mereka paling tidak memikirkan tetangga sebelahnya atau paling tidak mempunyai kesadaran rasa solidaritas ketika melihat disekitarnya memperoleh diskriminasi?. Pada kasus diskriminasi berbasis gender, masih banyak masyarakat awam kita, mendeskontruksikan pemikirannya, yang menunjukkan perempuan terus menerus dirugikan karena ada unsur konstruksi budaya masyarakat. Seperti contoh yang dikemukakan oleh dewan PEKKA, bahwa disuatu daerah indramayu, ada seorang anak yang diperkosa oleh bapak nya hingga hamil, menjadikan masyarakat disana geram, dan mengusir bapaknya dari perkampungan, disekolah si anak ini mendapat teguran dan hampir ingin di berhentikan dari sekolah karena merupakan suatu aib yang semua anggota wali murid menyetujui untuk mendrop out si anak ini, melihat kasus ini pemerintah indramayu bekerjasama dengan lembaga sosial dan perlindungan anak, memaparkan kepada pihak sekolah jika sianak ini diberhentikan, maka si anak ini akan bertambah miskin, karena sudah tidak ada yang mengurus dan tidak mendapatkan pendidikan, sehingga nantinya sianak ini tidak berdikari, bahkan sangat terpuruk karena factor psikologi yang masih labil dan harus menerima kenyataan bahwa dirinya sudah mengandung, melihat hal tersebut pihak sekolah mengurungkan niatnya, namun sebagai gantinya, si anak ini wajib harus mengungkapkan dan mempresentasikan perasaannya kepada pihak wali murid lainnya, bagaimana dirinya yang masih ingin belajar, namun dirinya adalah sebagai korban dari tindak asusila yang dilakukan oleh orang tuanya. Dan dirinya sangat tidak menginginkan hal tersebut.
Dari kasus ini kita dapat mengambil intisari pembelajaran, khususnya bagi mereka mereka yang pemikirannya masih kolot dan masih terkontruksi budaya masyarakat yang keliru. Bahwasannya korban korban diskriminasi khususnya berbasis gender, mereka adalah korban bukan pelaku, dan sebenarnya mereka sangat tidak menginginkan hal tersebut, mereka hanya ingin ada rasa solidaritas dan dukungan untuk mereka, agar mereka punya secercah harapan untuk bangkit dan tidak malu untuk mengemukakan apa yang terjadi dan yang dirasakan oleh dirinya, sehingga kejadian kejadian seperti itu tak lagi terulang. Oleh karena itu, bagaimana pada kasus kerentanan rantai kemiskinan yang turun temurun dapat terurai. Jawabannya adalah pada diri kita sendiri (pihak ketiga) kita yang sadar adalah sebagai pelopor yang dapat mendorong kekuatan pada lingkungan kita sendiri dengan cara mendeskontruksikan sistem atau persfektif yang keliru pada masyarakat. Salam Pemberdaya !! (SR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar