Apa yang anda fikirkan jika penulis mengatakan
“siapa sosok kepala keluarga didalam sebuah rumah tangga”?? pasti sebagian
besar menjawab. (Ya dia seorang laki laki). Tahukah kita, bahwasannya lebih
dari 25% kepala keluarga di Indonesia dipimpin oleh seorang wanita. Ini bukan
suatu yang mustahil tapi ini adalah realita. Dan tidak sedikit dari mereka
(Kepala Keluarga Perempuan) menyadari bahwa ia adalah seorag kepala keluarga.
Sehingga bukannya tidak mungkin, jikalau secara de facto pada kasus kepala
keluarga perempuan ada kemiskinan yang terselubung.
Pada hari selasa kemarin (10 Juni 2014) penulis dan
beberapa anggota pemberdaya muda menghadiri acara pertemuan nasional lembaga
PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) di bilangan Jakarta Pusat. Acara
yang dihadiri oleh perempuan perempuan kepala keluarga ini cukup antusias.
Bagaimana tidak, ibu ibu PEKKA ini hadir dari daerah yang berbeda, kurang lebih
mencakup 19 provinsi yang tergabung dalam komunitas PEKKA, acara yang di sambut
oleh menteri pemberdayaan perempuan ini, mengakui sangat kagum dengan para RTP
(Rumah Tangga Perempuan) ini. dengan keterbatasan yang ada, mereka tidak lelah
berjuang, bahkan mereka sangat mengutamakan pendidikan untuk masa depan anak
anaknya. Ibu ibu PEKKA ini terklasifikasi kedalam beberapa kriteria perempuan
kepala keluarga. Yakni: janda yang suaminya meninggal, janda yang bercerai,
perempuan yang suaminya mengidap penyakit dan membuat istrinya menjadi tulang
punggung keluarga, perempuan yang suaminya
merantau, dan perempuan yang ditinggalkan suaminya begitu saja dengan anak
anaknya.
Namun, pada kenyataannya banyak di masyarakat kita
pada kasus kepala keluarga perempuan, Bahwasannya ideology pemahaman masyarakat
kepala keluarga adalah seorang laki laki. Sekalipun suami suami mereka sudah
bertahun tahun tidak ada kabar, dan tidak menafkahi. Ini kemudian menjadikan
perempuan kepala keluarga dipandang sebelah mata. Sebagai contoh ketika ada
program pemerintah yang mengharuskan kepala keluarga laki laki yang mengambil
bantuan pemerintah, dan ketika yang datang adalah sosok perempuan yang memang
dia adalah sebagai kepala keluarga. Maka dengan tegas para aparat pemerintah
tidak mengizinkan untuk pencairan bantuan sebelum kepala keluarga laki laki
yang datang. Ini menjadi sebuah dilemma dan menjadi pertanyaan besar. Bagaimana
dengan perempuan perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, akankah dia
menjemput ke kuburan suaminya, atau bagaimana nasib perempuan perempuan yang
ditinggal rantau oleh suaminya bahkan tidak ada kabar, akankah ia menunggu
suaminya pulang, lalu bantuan baru bisa dicairkan. Inilah yang menjadikan kasus
pada kepala keluarga perempuan menjadi aspek kemiskinan yang terselubung tidak
terdata dan tidak di jamah oleh program program pemerintah.
Lalu pada kasus yang ditemukan dalam perkawinan
poligami, bahwa secara realita, perkawinan poligami memberikan suasana yang
bertambah buruk dalam rumah tangga. Pada kasus poligami, yang sering
dikemukakan oleh perempuan adalah masalah keuangan, namun, yang dikemukakan
laki laki masalah yang sering muncul dari poligami berdampak pada psikologi.
Pada kasus KKP (Kepala Keluarga Perempuan) secara
realita mengemukakan bahwasannya para perempuan miskin kepala keluarga lebih
kuat ikatan solidaritas kemiskinannya ketika dihadapkan pada perempuan lainnya
ketika ada persoalan ketidak adilan dari suatu sistem. Ini di buktikan ketika
para ibu ibu PEKKA yang mayoritas buta aksara, mereka sangat antusias dan terkesan
aktif ketika di berikan kesempatan mengajukan pertanyaan kepada perwakilan
menteri pemberdayaan perempuan. yang kebanyakan isinya pengaduan pengaduan dan
keluh kesah mereka yang mendapat ketidak adilan dalam program bantuan
pemerintah. Bahkan ada ibu yang mengatakan bahwasannya mereka memang miskin, tapi
tidak ingin disebut orang miskin, mereka hanya meminta bantuan yang seyogyanya
bantuan itu membuat mereka berdikari bukan ketergantungan, lebih dari itu
mereka mengatakan, tidak apa apa kami tidak memperoleh bantuan, asalkan teman
teman dan tetangga kami yang lebih berhak menerima bantuan segera dibantu.
Bukan hanya sekedar sensus dan survey belaka. Inilah arti dari solidaritas
kemiskinan yang tanpa mereka sadari itulah harta kekayaan yang belum tentu
orang lain miliki. Lalu bagaimana dengan orang yang kaya, orang yang sudah
mampu, orang yang bergelimangan harta, orang yang cukup, masihkan mereka paling
tidak memikirkan tetangga sebelahnya atau paling tidak mempunyai kesadaran rasa
solidaritas ketika melihat disekitarnya memperoleh diskriminasi?. Pada kasus
diskriminasi berbasis gender, masih banyak masyarakat awam kita,
mendeskontruksikan pemikirannya, yang menunjukkan perempuan terus menerus
dirugikan karena ada unsur konstruksi budaya masyarakat. Seperti contoh yang
dikemukakan oleh dewan PEKKA, bahwa disuatu daerah indramayu, ada seorang anak
yang diperkosa oleh bapak nya hingga hamil, menjadikan masyarakat disana geram,
dan mengusir bapaknya dari perkampungan, disekolah si anak ini mendapat teguran
dan hampir ingin di berhentikan dari sekolah karena merupakan suatu aib yang
semua anggota wali murid menyetujui untuk mendrop out si anak ini, melihat
kasus ini pemerintah indramayu bekerjasama dengan lembaga sosial dan
perlindungan anak, memaparkan kepada pihak sekolah jika sianak ini
diberhentikan, maka si anak ini akan bertambah miskin, karena sudah tidak ada
yang mengurus dan tidak mendapatkan pendidikan, sehingga nantinya sianak ini
tidak berdikari, bahkan sangat terpuruk karena factor psikologi yang masih
labil dan harus menerima kenyataan bahwa dirinya sudah mengandung, melihat hal
tersebut pihak sekolah mengurungkan niatnya, namun sebagai gantinya, si anak
ini wajib harus mengungkapkan dan mempresentasikan perasaannya kepada pihak
wali murid lainnya, bagaimana dirinya yang masih ingin belajar, namun dirinya
adalah sebagai korban dari tindak asusila yang dilakukan oleh orang tuanya. Dan
dirinya sangat tidak menginginkan hal tersebut.
Dari kasus ini kita dapat mengambil intisari
pembelajaran, khususnya bagi mereka mereka yang pemikirannya masih kolot dan
masih terkontruksi budaya masyarakat yang keliru. Bahwasannya korban korban
diskriminasi khususnya berbasis gender, mereka adalah korban bukan pelaku, dan
sebenarnya mereka sangat tidak menginginkan hal tersebut, mereka hanya ingin
ada rasa solidaritas dan dukungan untuk mereka, agar mereka punya secercah
harapan untuk bangkit dan tidak malu untuk mengemukakan apa yang terjadi dan
yang dirasakan oleh dirinya, sehingga kejadian kejadian seperti itu tak lagi
terulang. Oleh karena itu, bagaimana pada kasus kerentanan rantai kemiskinan
yang turun temurun dapat terurai. Jawabannya adalah pada diri kita sendiri
(pihak ketiga) kita yang sadar adalah sebagai pelopor yang dapat mendorong
kekuatan pada lingkungan kita sendiri dengan cara mendeskontruksikan sistem atau
persfektif yang keliru pada masyarakat. Salam Pemberdaya !! (SR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar