Sumber Foto : www.unvsop.com |
Keputusan,
keputusan, keputusan. Selalu, kepu-tusan. Tampaknya pengambilan keputusan
adalah segalanya yang kita lakukan. Beberapa keputusan lebih mudah daripada
yang lain, seperti “Hemm, apa yang harus saya santap untuk makan siang?” Yang
lain lumayan sulit, seperti, “Apakah saya harus mengangkat jabatan George atau
Jeffrey?”[1]
Acap
kali, apa yang menjadikan suatu keputusan itu sulit adalah karena Anda belum
mengenali apa sebenarnya yang dipersoalkan. Anda bertanya, apa yang harus saya
perbuat? Ini atau itu? Sebagai gantinya, Anda seharusnya bertanya, Apa yang
akan terjadi seandainya saya memutuskan untuk melakukan ini, dan bukan itu?
Mengapa sebenarnya saya harus mengambil keputusan ini, untuk tujuan apa? Apa atau
siapa yang akan terpengaruh oleh pengambilan keputusan ini, dan bagaimana?
Pengambilan keputusan yang sulit mengharuskan Anda mengembangkan sebuah konteks
yang di dalamnya Anda mengidentifikasi asumsi dan keyakinan, sikap, nilai,
tujuan, dan sasaran.[2]
Saya
meyakini bahwa setiap orang pernah memiliki masalah dan dihadapkan pada
berbagai pilihan keputusan, begitu pula saya sebagai penulis, tidak pernah
terlepas dari berbagai permasalahan dan pilihan yang muncul silih berganti.
Disini saya akan mengajak pembaca untuk menyelidiki sebuah contoh kasus, dalam
kasus ini apakah keputusan yang diambil itu tepat atau kurang tepat, tentunya
pembaca memiliki perspektif yang berbeda-beda sehingga kita tidak harus
menyetujui mana yang paling benar.
Kita
tahu bahwa masalah pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi, terbatasnya
lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja tiap tahunnya.
Kita ambil contoh misalnya suatu universitas menyelenggarakan wisuda sebanyak 4
kali dalam 1 tahun, 1 angkatan wisuda berjumlah 1000 orang, apabila dikalikan 4
kali wisuda dalam 1 tahun maka ada 4000 orang lulusan yang dicetak oleh 1
universitas. Tapi bukan itu masalah utamanya, masalahnya ada pada lulusan
universitas tersebut, guncangan identitas, tuntutan social & budaya, serta
tuntutan peer group setelah masa kuliah memaksa mereka untuk memutuskan secepat
mungkin apa yang harus dilakukan selanjutnya, apakah mau bekerja, menikah, atau
membantu orang tua dirumah.
Pilihan
pertama yang bisa diambil adalah bekerja. Lalu muncul sebuah pertanyaan “Dimana
saya akan bekerja? Apa kemampuan saya cukup untuk masuk ke perusahaan tersebut?
Apakah gaji saya akan menutupi kebutuhan selama satu bulan?” begitu banyak
pertanyaan yang muncul sehingga bertemu dengan pilihan yang diluar perkiraan “Apa
lebih baik saya berwirausaha saja, daripada bekerja ditempat orang lain?”. Ketika
kita memutuskan untuk memilih bekerja, ada orang lain yang terpengaruh atas
keputusan yang kita ambil. Misalnya pasangan hidup & orang tua. Butuh
berapa lama kita bekerja agar bisa memiliki bekal untuk meminang pasangan kita,
kalau terlalu lama, pasangan hidup kita dipinang orang lain. Lalu, kalau memilih
bekerja, waktu bersama orang tua akan berkurang.
Setiap
orang bertumbuh dengan belajar seperangkat keyakinan yang tidak dapat disangkal
dari budaya atau kelompok social disekelilingnya. Keyakinan mungkin mencakup
konsep bahwa bumi menghasilkan siang dan malam dengan berotasi pada porosnya,
atau pendirian bahwa perkambangan keuangan dan pengejaran kebahagiaan adalah
hal yang sama. Anda biasanya menerima dasar pengembangan mental ini begitu saja
dan tidak terlalu memikirkannya, hingga Anda dihadapkan pada keputusan yang
sulit. Banyak dari keyakinan Anda didasarkan pada pengalaman, tetapi acap kali
Anda mundur pada seperangkat pengalaman yang terbatas untuk menopang keyakinan
Anda.[3]
Pilihan
kedua setelah lulus dari universitas adalah menikah. Kita harus ingat bahwa
setiap keputusan yang kita ambil itu akan berdampak pada hal lain ataupun pada orang lain. Kalau kita memilih menikah
tetapi belum memiliki pekerjaan, darimana kita bisa membiayai kebutuhan rumah
tangga? Kalaupun kita menikah dan sudah memiliki pekerjaan, bagaimana dengan
orang tua kita? Mau ditinggalkan begitu saja, menggunakan jasa pembantu rumah tangga
agar ada yang menemani, atau ikut bersama Anda tinggal serumah? Apabila ikut
tinggal, apakah mungkin orang tua intervensi untuk urusan rumah tangga? Selalu banyak
pertanyaan yang mesti dijawab dan keputuan yang diambil.
Pilihan
yang ke tiga adalah membantu orang tua dirumah. Setelah lulus kuliah kita
mengabdikan diri untuk membantu dan merawat orang tua dirumah, dan memilih
menyampingkan urusan pekerjaan ataupun pasangan hidup. Seperangkat keyakinan
yang didasarkan pada pengalaman menuntun kita untuk memutuskan mana yang akan
kita pilih, tetapi acap kali kita mundur pada satu perangkat pengalaman yang
terbatas. Imbalan yang diperoleh dari keputusan dan tindakan yang diambil biasanya
mendorong pilihan kita. kita memilih untuk melakukan hal-hal yang memberikan hasil yang diinginkan.(Mi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar