Rabu, 29 April 2015

Pengembilan Keputusan Yang Sulit Secara Tepat

Sumber Foto : www.unvsop.com
Keputusan, keputusan, keputusan. Selalu, kepu-tusan. Tampaknya pengambilan keputusan adalah segalanya yang kita lakukan. Beberapa keputusan lebih mudah daripada yang lain, seperti “Hemm, apa yang harus saya santap untuk makan siang?” Yang lain lumayan sulit, seperti, “Apakah saya harus mengangkat jabatan George atau Jeffrey?”[1]
Acap kali, apa yang menjadikan suatu keputusan itu sulit adalah karena Anda belum mengenali apa sebenarnya yang dipersoalkan. Anda bertanya, apa yang harus saya perbuat? Ini atau itu? Sebagai gantinya, Anda seharusnya bertanya, Apa yang akan terjadi seandainya saya memutuskan untuk melakukan ini, dan bukan itu? Mengapa sebenarnya saya harus mengambil keputusan ini, untuk tujuan apa? Apa atau siapa yang akan terpengaruh oleh pengambilan keputusan ini, dan bagaimana? Pengambilan keputusan yang sulit mengharuskan Anda mengembangkan sebuah konteks yang di dalamnya Anda mengidentifikasi asumsi dan keyakinan, sikap, nilai, tujuan, dan sasaran.[2]
Saya meyakini bahwa setiap orang pernah memiliki masalah dan dihadapkan pada berbagai pilihan keputusan, begitu pula saya sebagai penulis, tidak pernah terlepas dari berbagai permasalahan dan pilihan yang muncul silih berganti. Disini saya akan mengajak pembaca untuk menyelidiki sebuah contoh kasus, dalam kasus ini apakah keputusan yang diambil itu tepat atau kurang tepat, tentunya pembaca memiliki perspektif yang berbeda-beda sehingga kita tidak harus menyetujui mana yang paling benar.
Kita tahu bahwa masalah pengangguran di Indonesia masih cukup tinggi, terbatasnya lapangan pekerjaan tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja tiap tahunnya. Kita ambil contoh misalnya suatu universitas menyelenggarakan wisuda sebanyak 4 kali dalam 1 tahun, 1 angkatan wisuda berjumlah 1000 orang, apabila dikalikan 4 kali wisuda dalam 1 tahun maka ada 4000 orang lulusan yang dicetak oleh 1 universitas. Tapi bukan itu masalah utamanya, masalahnya ada pada lulusan universitas tersebut, guncangan identitas, tuntutan social & budaya, serta tuntutan peer group setelah masa kuliah memaksa mereka untuk memutuskan secepat mungkin apa yang harus dilakukan selanjutnya, apakah mau bekerja, menikah, atau membantu orang tua dirumah.
Pilihan pertama yang bisa diambil adalah bekerja. Lalu muncul sebuah pertanyaan “Dimana saya akan bekerja? Apa kemampuan saya cukup untuk masuk ke perusahaan tersebut? Apakah gaji saya akan menutupi kebutuhan selama satu bulan?” begitu banyak pertanyaan yang muncul sehingga bertemu dengan pilihan yang diluar perkiraan “Apa lebih baik saya berwirausaha saja, daripada bekerja ditempat orang lain?”. Ketika kita memutuskan untuk memilih bekerja, ada orang lain yang terpengaruh atas keputusan yang kita ambil. Misalnya pasangan hidup & orang tua. Butuh berapa lama kita bekerja agar bisa memiliki bekal untuk meminang pasangan kita, kalau terlalu lama, pasangan hidup kita dipinang orang lain. Lalu, kalau memilih bekerja, waktu bersama orang tua akan berkurang.
Setiap orang bertumbuh dengan belajar seperangkat keyakinan yang tidak dapat disangkal dari budaya atau kelompok social disekelilingnya. Keyakinan mungkin mencakup konsep bahwa bumi menghasilkan siang dan malam dengan berotasi pada porosnya, atau pendirian bahwa perkambangan keuangan dan pengejaran kebahagiaan adalah hal yang sama. Anda biasanya menerima dasar pengembangan mental ini begitu saja dan tidak terlalu memikirkannya, hingga Anda dihadapkan pada keputusan yang sulit. Banyak dari keyakinan Anda didasarkan pada pengalaman, tetapi acap kali Anda mundur pada seperangkat pengalaman yang terbatas untuk menopang keyakinan Anda.[3]
Pilihan kedua setelah lulus dari universitas adalah menikah. Kita harus ingat bahwa setiap keputusan yang kita ambil itu akan berdampak pada hal lain ataupun  pada orang lain. Kalau kita memilih menikah tetapi belum memiliki pekerjaan, darimana kita bisa membiayai kebutuhan rumah tangga? Kalaupun kita menikah dan sudah memiliki pekerjaan, bagaimana dengan orang tua kita? Mau ditinggalkan begitu saja, menggunakan jasa pembantu rumah tangga agar ada yang menemani, atau ikut bersama Anda tinggal serumah? Apabila ikut tinggal, apakah mungkin orang tua intervensi untuk urusan rumah tangga? Selalu banyak pertanyaan yang mesti dijawab dan keputuan yang diambil.
Pilihan yang ke tiga adalah membantu orang tua dirumah. Setelah lulus kuliah kita mengabdikan diri untuk membantu dan merawat orang tua dirumah, dan memilih menyampingkan urusan pekerjaan ataupun pasangan hidup. Seperangkat keyakinan yang didasarkan pada pengalaman menuntun kita untuk memutuskan mana yang akan kita pilih, tetapi acap kali kita mundur pada satu perangkat pengalaman yang terbatas. Imbalan yang diperoleh dari keputusan dan tindakan yang diambil biasanya mendorong pilihan kita. kita memilih untuk melakukan  hal-hal yang memberikan hasil yang diinginkan.(Mi)



[1] Drs. Budijanto, Pengambilan Keputusan Yang Sulit Secara Tepat (Jakarta: BINARUPA AKSARA) h. 5
[2] Ibid, h. 9
[3] Drs. Budijanto, h. 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar